
Mencintai adalah suatu hal yang wajar namun, hal tersebut akan
berakibat fatal apabila terlalu berlebihan. Dalam Islam kita diajarkan untuk
saling mencintai dan saling menyayangi satu sama lain bahkan kepada non-Islam
pun diperintah demikian. Dalam realita yang ada banyak laki-laki yang mencintai
perempuan berlebihan hingga, pada akhirnya mereka terjerumus pada kemaksiatan
padahal belum sah untuk bersentuhan. Hal demikian yang dilarang oleh syari’at
Islam.
Impak yang lain, tatkala seseorang
mencintai berlebihan maka, ia akan sangat patah hati ketika seorang yang
dicintainya tidak memiliki perasaan yang sama. Bahkan menimbulkan rasa benci
pada orang yang awalnya dicintai.
Dalam kitab Tarikh Damaskus, Yahya
bin Muadz al-Razi menyatakan:
يحيى بن معاذ الرازي يقول حقيقة المودة هي التي لا
تزيد بالبر ولا تنقص بالجفاء
Yahya bin Muadz
al-Razi berkata:
“Esensi cinta
yang sebenarnya adalah ketika cintamu tidak lagi bertambah ketika ia berbuat
baik, dan tidak akan berkurang ketika ia membuatmu merasakan pahit”
Jika dipahami secara intensif maka, akan memberikan kesimpulan pada
kita bahwa dalam mencintai kita tidak boleh berlebihan. Seorang pemuda
misalnya, jika kita melihat pada realita yang ada maka ia biasanya selalu
mengejar orang yang dicintainya. Hal tersebut boleh dengan catatan tidak boleh
melanggar koridor Syar’i misal bersentuhan sebab secara agama Islam mereka
masih belum sah menjadi suami-istri.
Demikian pula hal-hal yang menjadikannya terjerumus dalam
kemaksiatan maka hal tersebut dilarang. Walaupun hanya melakukan hal sepele
misal melakukan khalwat atau berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi
memang bukan dikatakan zina dan juga tidak merusak keturunan. Juga tidak mesti
khalwat itu berakhir dengan perbuatan zina. Jika diangan-angan, walaupun
demikian mudahnya maka, khalwat itu dilarang dengan tujuan menutup pintu
terhadap pelanggaran yang tingkatannya daruri.
Demikian pula pernyataan “Tidak akan
berkurang ketika ia membuatmu merasakan pahit”. Pernyataan ini mengajarkan kita
bahwa “cinta itu tidak harus memiliki” sehingga, ketika kita mencintai
seseorang dan seseorang yang kita cintai tidak memiliki perasaan yang sama
maka, sehasrusnya hal itu tidak membuat kita lemah atau bisa dikatakan patah
hati yang kemudian membuat kita depresi.
Sebenarnya, penjelasan tersebut
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 143.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
“Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan
agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas perbuatan kamu” (Q.S
al-Baqarah [2]: 143)
Syaikh Ali al-Sabuni mengutip pendapatnya Imam al-Thabari, maksud
dari kata “Wasath” pada ayat di atas adalah pilihan dan ada juga yang
mengartikan dengan “adil”. Adapun pada dasarnya kata “Wasath” adalah segala
sesuatu yang baik sesuai objeknya. Orang bijak menyatakan “sebaik-baiknya
segala sesuatu adalah yang di pertengahan sementara bersikap paling tinggi atau
paling rendah adalah sesuatu yang tercela”. Dengan kata lain, yang baik
berada pada posisi antara dua ekstrem
Misal “keberanian” adalah pertengahan antara sifat ceroboh dan
takut, “Kedermawanan” adalah pertengahan antara sifat boros dan kikir.
Oleh karena itu, dalam mencintai hendaknya kita bersikap moderat
yakni tidak berlebihan agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan dan juga tidak
membuat kita galau, patah hati, depresi dan sebagainya tatkala orang yang kita
cintai tidak memiliki perasaan yang sama sebab level tertinggi dalam mencintai
adalah saling mengiklaskan. Untuk itu, cintailah sekadarnya, tidak berlebihan
dan juga tidak terlalu mengabaikan dengan catatan tidak melakukan kemaksiatan.
Post a Comment for "Mencintai dengan Bersikap Moderat"